Don’t
Cry
Cast : Henry Lau, Choi
Sooyoung
Genre : Angst
FF ini adalah ONESHOOTT~
Hope you like this and
comment please…
Jangan plagiat juga ya.
Hargai aku yang sudah susah-susah cari inspirasi sampe ngubek-ngubek buku
catatan lirik laguku :D
Karena ff ini
sebenarnya adalah tugas mapel B.Indonesiaku,jadi mohon wajar kalau ada nama
yang nyasar jadi nama Indonesia…
O ya, maaf cover untuk sementara belum ku share, besok kalau ada waktu pasti langsung aku lengkapi .
O ya, maaf cover untuk sementara belum ku share, besok kalau ada waktu pasti langsung aku lengkapi .
*********************************************************************************
Cahaya bulan terpancar dari matamu
Malam
sunyi yang berlalu penuh kesakitan
Sayang
janganlah kau menangis malam ini,
Setelah
kelam menghampirimu
Sayang
janganlah kau menangis malam ini,
Setelah
semua ini terjadi
Semua
ini akan berlalu dengan cepat
Cintaku akan tetap
melindungimu
Jadi
sayang aku mohon janganlah kau menangis malam ini
Saat
matahari pagi menyapa
Sinar
mentari yang mengingatkanku padamu
Air
mata yang tertahan akhirnya jatuh
[EXO – Baby Don’t Cry]
Malam semakin larut dengan sinar
remang – remang yang menhiasinya dari atas sana. Malam ini adalah jatah sang
rembulan menampakkan seluruh tubuhnya. Memancarkan seluruh cahaya yang ia miliki untuk
sedikit membantu penerangan di bawahnya. Dan benar saja. Cahayanya memang sangat
membantu Henry. Pria tampan kelahiran Kanada yang menetap di Korea itu tampak
fokus memandang suatu objek di hadapannya. Berkat ruang santai apartemennya
yang tepat berseberangan dengan bangunan itu, ia mampu melihat gadis itu tiap
malam. Gadis yang selalu duduk di balik meja yang persis menghadap jendela
kamarnya – juga menghadap ruang santai apartemen Henry. Ia selalu menunduk
seolah sedang membaca buku yang terbuka di atas meja. Selama berjam – jam
hingga pada halaman ke empat belas – Henry selalu menghitung lembar buku yang
di buka gadis itu; lagipula gadis itu selalu memulai membaca dari halaman satu,
gadis itu berhenti. Matanya terpaku menatap buku dalam waktu cukup lama.
Henry
menelan salivanya yang tiba – tiba terasa pahit. Jangan lagi, ku mohon, jerit
hatinya penuh pengharapan. Tapi sia – sia. Gadis itu kembali menjatuhkan airnya
yang menurut Henry berharga.
***Flashback***
“Youngie,”
Gadis itu mendongak, menatap sekilas
seseorang yang tengah melambai padanya dengan senyum menghiasi wajah tersebut.
Itu senyum palsu. Gadis itu sangat tahu akan hal tersebut, namun ia
mengacuhkannya dan mulai mempercepat langkah untuk mencapai tempat di mana
orang itu menunggunya.
“Maaf aku terlambat. Apa kau sudah
lama menunggu?” sapa gadis itu, Sooyoung.
“Tidak, aku baru tiba 5 menit yang
lalu. Duduklah,” ucap Henry, orang yang tadi memanggil Sooyoung sembari duduk
di kursi taman diikuti gadis itu.
Untuk beberapa saat kemudian suasana
hening. Tak ada satupun yang memulai pembicaraan. Mereka layaknya orang yang
tak saling mengenal namun tanpa sengaja duduk berdampingan dalam satu kursi.
Tiba – tiba Henry berdehem. Seketika
Sooyoung menoleh untuk mendengarkan.
“Tiga hari lagi aku harus pergi ke
luar kota untuk urusan kantor. Mungkin 5 hari. Apa kau tidak apa – apa?” info
Henry.
Sejenak Sooyoung terdiam, kemudian
menggangguk. “Aku akan baik – baik saja. Percayalah.”
Henry tersenyum. Ia alihkan
pandangannya lurus ke depan kemudian menarik nafas pelan. Lagi – lagi mereka
diliputi kesunyian untuk sesaat.
“Henry,”
Henry menoleh. Sooyoung tampak ragu
untuk menyampaikan maksudnya. Ia terlihat cukup gelisah, namun Henry tetap
menunggu. Setelah menarik nafas dan menenangkan diri, Sooyoung melanjutkan,
“Aku mohon kau jangan marah dan aku sangat minta maaf sebelumnya. Tapi aku tak
dapat menolak hal ini. Aku takut jiwamu terancam. Namun aku juga takut akan
kenyataan ini. Aku mohon maafkan aku dan kau janganlah terluka.”
Alis Henry berkerut mendengar
penuturan Sooyoung yang menurutnya aneh. Entah kenapa tiba – tiba Henry merasa
ada yang tak beres. Cepat – cepat ia memerintah otaknya untuk mengusir jauh –
jauh perasaan itu. Mungkin itu hanya perasaannya yang berlebihan. Ya, Henry
percaya itu.
“Henry,”
Henry masih menunggu dengan hati tak
karuan. Ia sangat penasaran dan merasa tak enak dengan suasana ini. Tapi ia
berusaha tetap diam.
“Aku akan menikah,”
Seperti tersambar petir, seketika
tubuh Henry melemas. Otaknya tak dapat bekerja dengan baik. Ia merasa berita
ini merupakan mimpi buruk terbesarnya. Meruntuhkan segala mimpi masa depannya.
Henry merosot dari kursinya tanpa daya.
“Maafkan aku, Henry. Aku tak mampu
menolaknya. Aku mencintaimu tapi aku tak punya daya untuk menolak keinginan
ayahku. Aku ingin melawan, tapi tidak sendiri. Aku ingin memperjuangkan cinta
kita bersama denganmu, Henry,” ujar Sooyoung dengan air mata yang mulai
mengalir.
Nyaris Henry menyetujui apa yang Sooyoung
inginkan. Namun tiba – tiba ia ingat. Ayah Sooyoung tak menginginkan dirinya.
Orang itu menginginkan pernikahan Sooyoung dengan pria pilihannya. Jadi,
walaupun ia pergi bersama Sooyoung semua akan terasa sia – sia. Kaki tangan Mr.
Choi–Ayah Sooyoung —sangat banyak. Tak mustahil bagi mereka untuk menemukan
dirinya dan Sooyoung. Dan kemungkinan terburuknya ia akan mati, sementara Sooyoung
pasti akan tetap menikah dengan pria lain. Ayah Sooyoung adalah tipe orang yang
keras dan selalu menghalalkan segala cara agar keinginannya terwujud. Lagipula
jika ia mati Sooyoung pasti akan sangat kehilangan. Sementara jika ia hidup, ia
akan dapat menjadi saksi atas kebahagiaan Sooyoung dan pria pilihan ayahnya
itu. Ia yakin kelak Sooyoung juga akan melupakan dirinya.
“Youngie, kau harus tetap menikah.
Aku tahu ini berat bagi kita, tapi lupakanlah aku. Sambutlah kebahagiaanmu, Youngie,”
ucap Henry lirih. Sooyoung terdiam seketika. Tak percaya akan apa yang diucapan
Henry barusan.
“A-apa?” suara Sooyoung tercekat.
“Lupakanlah aku dan tetaplah
menikah,” ulang Henry bergetar.
“K-kau… me-melepas- kan- ku…?”
“Kita tak bisa bersama, Youngie.
Walaupun kita memperjuangkannya semua akan sia – sia.”
“Tapi… tapi…”
“Youngie, kurasa hubungan kita cukup
sampai disini. Aku mencintaimu, Youngie,” ucap Henry dengan suara bergetar
menahan tangis.
“Tapi… katamu kita akan selalu
bersama. Tapi kenapa… kenapa sekarang…”
Henry menarik tubuh Sooyoung dalam
pelukannya. Pelukan terakhir yang dapat ia berikan. Sama halnya dengan Sooyoung,
Henry juga merasa sakit. Dadanya sesak dan suaranya seakan hilang. Mati –
matian ia menahan air matanya walaupun gadis dalam dekapannya telah menangis
deras.
Henry mengeratkan pelukannya. “Aku
sangat mencintaimu, Youngie. Percayalah.”
***End of Flashback***
Bip…
Bip… Bip…
Suara alarm itu berhenti semenit
kemudian. Henry yang mendengarnya tak bergerak sedikitpun untuk sekedar
memeriksanya. Ia tahu itu tanda bahwa jam menunjukkan pukul 07.00 AM. Jadi
sudah semalam penuh ia memperhatikan gadis itu. Dua jam yang lalu gadis itu
telah tertidur dengan air mata yang sudah mongering di pipinya. Henry yakin ia
kelelahan karena menangis semalaman. Andai saja Henry bisa, ia ingin sekali
berada di dekat gadis itu. Menyelimuti tubuhnya, menghapus air matanya dan
mencium keningnya penuh sayang.
Tapi lihatlah! Semua yang ia
bayangkan memang diterima oleh gadis itu. Namun bukan darinya, melainkan dari Siwon,
suami gadis itu.
Henry terdiam. Tak mampu berbuat
lebih selain menatapnya. Seketika otak Henry berputar. Mengenang kembali
kejadian setahun silam di taman itu. Memanggil rasa penyesalan atas
kebodohannya dulu. Juga keputusan terbodoh yang telah diambilnya.
Seluruh
dugaannya setahun silam ternyata meleset. Sooyoung tidak dapat dengan mudah
melupakannya walaupun ada FandiSiwon di dekatnya. Hati Sooyoung masih terus
terbayang akan sosok dirinya. Suatu hal yang membuat gadis itu selalu murung
dan menangis tiap malam. Henry sangat tahu itu dan sangat menyesal karena tak
pernah memperjuangkan cintanya walau ia tahu akhirnya tak seperti yang di
harapkan. Ia terlalu pengecut untuk berjuang mendapatkan cintanya. Terlalu takut
untuk menghadapi rintangan.
Henry mengerjap. Sebuah sinar kuning
menerpa wajahnya yang kusut lewat jendela di depannya. Ia menghela nafas
sejenak untuk melepaskan rasa sesak di dadanya. Kemudian ia angkat kepalanya
untuk mendongak ke arah timur.
Henry terbelalak. Di antara cahaya
terang itu, Henry melihatnya. Ia melihat wajah itu. Wajah cantik yang tersenyum
ceria dengan mata berbinar mengerling padanya. Tersenyum dengan tulus tanpa
beban. Senyum yang selalu muncul dan hanya ditujukan untuk dunianya. Namun
semuanya lenyap saat keputusan itu tercetus. Harapan dan keceriaan di wajah itu
hilang tak berbekas, membuatnya murung tiap malam, tiap saat.
Henry terbatuk kecil kemudian
menunduk. Setitik air jatuh di atas sebuah album foto yang berisi gambar Henry
dan gadis itu di masa lalu. Ia tak berniat untuk menyekanya walau setitik.
Malah membiarkannya semakin deras turun.
“Maafkan aku, Youngie. Aku memang
egois dan pengecut. Please, Youngie.
Don’t cry for me. Don’t cry.”